Jakarta, pilarbangsa.com – Nasib Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) kini berada di “ujung tanduk”.

Pasalnya, peran SKK Migas kemungkinan akan segera digantikan oleh Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.

Hal tersebut menyusul dengan proses perubahan Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menjelaskan, salah satu poin penting dalam draf revisi UU Migas ini yaitu adanya klausul pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.

Dia mengatakan, BUK Migas akan menjadi lembaga definitif pengganti SKK Migas yang saat ini bersifat sementara di bawah Kementerian ESDM.

Ketika nantinya revisi UU Migas ini disetujui dan disahkan, maka otomatis SKK Migas yang merupakan lembaga sementara akan dibubarkan, dan digantikan oleh Badan Usaha Khusus Migas yang bersifat permanen.

Dia menjelaskan, BUK Migas setidaknya mempunyai dua fungsi. Pertama, sebagai regulator sebagaimana yang telah dijalankan SKK Migas, dan kedua yakni fungsi pengusahaan.

“Ya memang drafnya seperti itu akan ada Badan Khusus Migas sesuai dengan fungsi yang diamanatkan oleh MK, jadi dia punya fungsi regulasi dan fungsi doers. Nah otomatis kalau ada badan baru yang lengkap sesuai amanat MK tadi diketok, ya nanti pemerintah otomatis membubarkan lembaga sementara,” jelasnya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Rabu (20/9/2023).

Dalam posisi ini, peran BUK Migas akan memperkuat kelembagaan yang sudah ada seperti SKK Migas.

Terutama, dalam melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama.

Selain mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan berusaha melalui kontrak kerja sama dengan badan usaha tetap, BUK Migas ini juga mempunyai kewenangan dalam melakukan kegiatan investasi pengelolaan dana migas. Badan ini juga bisa menjual bagi hasil migas, termasuk ekspor migas.

“Jadi semua yang ada di SKK Migas semua ditambah penguasaan penguasaan yang lain jadi lebih luas. Ini kan lebih pasti,” kata dia.

Mulyanto juga optimistis pembentukan BUK Migas ini nantinya tidak akan tumpang tindih dengan kewenangan yang berada di Kementerian ESDM.

Pasalnya, kedua regulator di sektor migas ini mempunyai tupoksinya masing-masing.

“Seperti penentuan WK (Wilayah Kerja) itu tetap di Kementerian, hal-hal kebijakan yang besar ada di Kementerian, kebijakan terkait pengaturan pengendalian hubungan kontrak kerja ada di BUK ini. Jadi sederhananya lembaga SKK Migas yang lalu tapi diperkuat,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto berharap BUK Migas yang nantinya masuk di dalam revisi UU Migas ini dapat mempunyai posisi yang cukup kuat.

Terutama sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengatur jalannya kegiatan usaha di sektor hulu migas nasional.

“Sehingga memang benar-benar layak untuk mewakili negara karena di dalam peran BUK ini seperti tadi disampaikan bapak-ibu sekalian memang berbeda dengan BUMN lain di mana BUMN lain adalah operator,” kata Dwi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Baleg DPR RI, Rabu (30/8/2023).

Menurut Dwi, meskipun menyematkan kata khusus sebagai perpanjangan tangan negara, namun BUK ini juga harus tetap memainkan perannya sebagai badan usaha.

Namun, BUK ini juga diharapkan bukan hanya berpikir mengenai profit atau kinerja korporasi semata.

“Tapi tadi sudah disampaikan mengenai bagaimana badan usaha ini mewakili kepentingan negara. Jadi yang menjadi fokusnya nanti berkaitan dengan kinerja adalah di samping masalah produksi, tadi kami sudah sampaikan dalam rencana strategis (Renstra) kebetulan renstra yang kami bangun sebagian besar sudah mewakilinya,” kata Dwi.

Rencana strategis yang dimaksud antara lain, pertama fokus pada isu ketahanan energi. Dwi menilai peningkatan produksi migas di dalam negeri menjadi sesuatu hal yang cukup penting untuk dilakukan melalui kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

“Badan usaha ini nanti akan memerankan peran negosiasi berkaitan dengan masalah tadi, split untuk pengembangan, dimana tidak lagi terlalu kaku kepada split yang terbaik untuk pemerintah, tetapi bagaimana cadangan itu betul-betul bisa dipercepat menjadi sebuah produksi untuk mengisi sebuah kebutuhan energi tadi,” katanya.

Kedua, melalui BUK ini, diharapkan industri migas tidak hanya berkontribusi pada penerimaan negara saja tetapi juga memberikan multiplier effect bagi industri penunjang.

“Dimana saat ini sudah kami terapkan bahwa para KKKS/perusahaan yang betul-betul terikat dengan TKDN itu adalah industri hulu migas. Karena di industri hulu migas itu komponen TKDN itu pengunci. Jadi kalau mereka mau membeli sesuatu, kalau TKDN-nya itu di bawah dari yang dalam dokumen kita, standar kita, minimum sekian persen, kalau di bawah itu kita tolak,” tambahnya,

Kemudian yang ketiga yakni mengenai masalah lingkungan. Dwi menambahkan BUK Migas ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan posisi SKK Migas saat ini.

Dimana peran atau posisi SKK Migas di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

“Tentu saja pertanggungjawabannya dalam hal ini kepada presiden. Namun di dalam operasi sehari-sehari itu berintegrasi dengan Kementerian ESDM,” kata Dwi.

Ia pun mengusulkan BUK Migas yang akan masuk dalam revisi UU Migas ini dapat terpisah dengan regulator.

Pasalnya, berdasarkan masukan dari pelaku usaha migas, mereka meminta agar BUK ini dapat bersifat independen.

“Masukan dari IPA di mana beranggotakan pelaku KKKS, mereka menyampaikan bahwa BUK yang merupakan perubahan SKK Migas haruslah independen. Bukan yang terpisah dari pemerintah, tapi independen dalam menentukan bidding atau tender-tender yang akan nanti dilakukan untuk penentuan siapa kontraktor dalam sebuah wilayah. Itu karakteristik BUK yang kami sampaikan tadi bahwa dia independen,” ujar Dwi. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *