Info, pilarbangsa.com – Kawasan Timur Tengah kembali memanas seiring dengan serangan mendadak kelompok Hamas Palestina ke Israel dekat perbatasan Gaza pada Sabtu (7/10/2023) lalu.

Serangan tersebut diklaim merupakan upaya merebut kembali Tanah Air warga Palestina dari pendudukan Israel.

Korban jiwa telah mencapai lebih dari 1.100 orang, dengan sekitar 700 di antara berasal dari pihak Israel.

Skala pertempuran yang terus meningkat pun akhirnya memaksa Israel untuk mendeklarasikan perang, pertama sejak 1973.

Lalu, apa yang terjadi pada serangan 7 Oktober lalu dan dampaknya hingga saat ini?

Serangan pertama Hamas pecah pada Sabtu dini hari. Faksi Palestina tersebut memulai serangan multi-cabang sekitar pukul 6:30 pagi waktu setempat dengan ribuan roket yang ditujukan hingga Tel Aviv dan Yerusalem, beberapa diantaranya melewati sistem pertahanan Iron Dome dan menghantam bangunan.

Baku tembak terjadi hingga malam hari antara pasukan Israel dan ratusan milisi Hamas di setidaknya 22 lokasi Israel.

Keadaan pun mulai kacau karena banyak warga sipil yang terlibat dalam baku tembak. Hamas sebelumnya merilis gambar beberapa warga Israel yang disandera, dan juru bicara militer lainnya, Daniel Hagari, membenarkan bahwa “ada tentara dan warga sipil yang diculik”.

Mayat-mayat berserakan di jalan-jalan kota Sderot di Israel dekat Gaza dan di dalam mobil, kaca depan mobil pecah karena hujan peluru.

“Saya melihat banyak mayat, baik teroris maupun warga sipil,” kata seorang pria kepada AFP, sambil berdiri di samping mayat-mayat yang tertutup di jalan dekat Gevim Kibbutz di Israel selatan.

“Begitu banyak mayat, begitu banyak mayat.”

AFP melaporkan orang-orang bersenjata Palestina berkumpul di sekitar tank Israel yang terbakar, dan yang lainnya mengendarai Humvee militer Israel yang disita kembali ke Gaza, di mana mereka disambut oleh kerumunan orang yang bersorak-sorai.

Eskalasi ini menyusul meningkatnya kekerasan selama berbulan-bulan, sebagian besar terjadi di Tepi Barat yang diduduki, dan ketegangan di sekitar perbatasan Gaza dan di tempat-tempat suci yang diperebutkan di Yerusalem.

Sebelum hari Sabtu, setidaknya 247 warga Palestina, 32 warga Israel dan dua warga asing telah terbunuh tahun ini, termasuk kombatan dan warga sipil, menurut pejabat Israel dan Palestina.

Hamas menyebut serangannya sebagai “Operasi Banjir Al-Aqsa” dan menyerukan “pejuang perlawanan di Tepi Barat” serta di “negara-negara Arab dan Islam” untuk bergabung dalam pertempuran tersebut.

Sayap bersenjatanya, Brigade Ezzedine Al-Qassam, mengeklaim telah menembakkan lebih dari 5.000 roket, sementara Hecht mengatakan Israel menghitung lebih dari 3.000 roket masuk.

Ketua Hamas Ismail Haniyeh mengeklaim kelompoknya berada di “ambang kemenangan besar”.

“Siklus intifada (pemberontakan) dan revolusi dalam pertempuran untuk membebaskan tanah kami dan tahanan kami yang mendekam di penjara pendudukan harus diselesaikan,” katanya.

‘Kekejaman Israel’

Juru bicara Hamas Khaled Qadomi mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kelompok itu melakukan operasi militernya sebagai tanggapan atas kekejaman yang dihadapi warga Palestina selama beberapa dekade.

Selain itu, Israel juga diketahui beberapa kali melakukan serangan di wilayah Masjid Al Aqsa, yang merupakan tempat suci Umat Islam.

“Kami ingin komunitas internasional menghentikan kekejaman di Gaza terhadap rakyat Palestina, tempat suci kami seperti Al-Aqsa. Semua hal inilah yang menjadi alasan di balik dimulainya pertempuran ini,” katanya.

Hamas juga meminta kelompok lain untuk bergabung dalam perlawanan, dan mengatakan bahwa serangan hari Sabtu hanyalah permulaan.

Kelompok itu mengatakan para pejuangnya menyandera beberapa warga Israel di daerah kantong tersebut, dan merilis video para pejuang menyeret tentara yang berlumuran darah.

Dikatakan bahwa perwira senior militer Israel termasuk di antara para tawanan.

“Hamas juga mengirim paralayang terbang ke Israel,” kata militer Israel.

Serangan tersebut mirip pada serangan terkenal pada akhir tahun 1980-an ketika para pejuang Palestina menyeberang dari Lebanon ke Israel utara dengan pesawat layang gantung dan menewaskan enam tentara Israel.

Konflik yang Tertanam

Hamas sendiri secara politis menguasai Jalur Gaza, wilayah seluas sekitar 365 km persegi yang merupakan rumah bagi sekitar 2,3 juta orang tetapi diblokade oleh Israel.

Dari segi nama, Hamas merupakan singkatan dari Gerakan Perlawanan Islam dan dalam bahasa Arab berarti “semangat”.

Hamas telah berkuasa di Jalur Gaza sejak 2007 setelah perang singkat melawan pasukan Fatah yang setia kepada Presiden Mahmoud Abbas, kepala Otoritas Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Gerakan Hamas didirikan di Gaza pada 1987 oleh seorang imam Sheikh Ahmed Yasin dan ajudannya Abdul Aziz al-Rantissi tak lama setelah dimulainya Intifada pertama, sebuah pemberontakan melawan pendudukan Israel di wilayah Palestina.

Gerakan ini dimulai sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin di Mesir dan membentuk sayap militer, Brigade Izz al-Din al-Qassam.

Kelompok tersebut dibuat untuk melakukan perjuangan bersenjata melawan Israel dengan tujuan membebaskan Palestina.

Mereka juga menawarkan program kesejahteraan sosial kepada warga Palestina yang menjadi korban pendudukan Israel.

Secara prinsip, Hamas tidak mengakui kenegaraan Israel, tidak seperti PLO yang mengakui keberadaan Negeri Yahudi itu.

Hamas menerima negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967.

“Kami tidak akan melepaskan satu inci pun tanah air Palestina, apapun tekanan yang terjadi saat ini dan berapapun lamanya pendudukan,” kata Khaled Meshaal, pemimpin kelompok Palestina di pengasingan pada tahun 2017.

Hamas juga dengan keras menentang perjanjian perdamaian Oslo yang dinegosiasikan oleh Israel dan PLO pada pertengahan tahun 1990an.

Kelompok ini secara resmi berkomitmen untuk mendirikan negara Palestina di wilayahnya sendiri.

Kelompok ini secara keseluruhan atau dalam beberapa kasus sayap militernya ditetapkan sebagai organisasi “teroris” oleh Israel, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Kanada, Mesir, dan Jepang.

Meski dicap teroris oleh sejumlah negara, Hamas adalah bagian dari aliansi regional yang juga mencakup Iran, Suriah, dan kelompok Hizbullah di Lebanon, yang menentang kebijakan AS terhadap Timur Tengah dan Israel.

Hamas dan Kelompok Jihad Islam, kelompok bersenjata terbesar kedua di kawasan, seringkali bersatu melawan Israel.

Namun hubungan kedua kelompok pernah menjadi tegang ketika Hamas memberikan tekanan pada Jihad Islam untuk menghentikan serangan terhadap Israel. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *